Riyadi's Blog

Menggagas Wacana Guru Blogger

menulis

MENULIS
Menulis adalah sebuah proses mempertahankan diri dari serangan penyakit hati dan kebodohan. Melepaskan ‘uneg-uneg’ ke dalam sebuah fiksi atau mengunggah gagasan ke dalam karya ilmiah menjadikan benteng hati yang kokoh karang tiada retak diterpa ombak kehidupan.
Akan tetapi, tidaklah mudah melepaskan diri dari berjejalnya ‘uneg-uneg’ menjadi bersih diri dan ikhlasnya hati. Begitu pula sulitnya merangkai diksi yang layak untuk ditebar ke dunia luar. Betapa ‘uneg-uneg’ ini bagaikan katak dalam tempurung. Hidup semata menunggu retak tempurung, di antara kegelapan dan kekerdilan diri menjadi terkurung.
Apalagi dalam dunia nonfiksi, mengunggah gagasan ke dalam suatu karya ilmiah bukan pula suatu hal yang mudah. Kesombongan data dan gagapnya kajian teori menjadikan diri ini semakin bertambah tidak mengerti. Ditambah minimnya pisau analisis yang aku miliki betapa angan-angan semakin jauh dari langit fantasi.
Serangan penyakit hati ini begitu bertubi-tubi. Dalam bahasa Pak Kyai berjudul iri dan dengki. Begitu pula nuansa kebodohan ini semakin membelit dalam diri. Dalam bahasa Eyang Guru disebut hambatan psikologis. Betapa inginnya mengerjakan apa pun yang lain agar terkesan sibuk, asal bukan menulis. Akankah engkau biarkan hidupku ini menjadi halusinasi.

21 September 2011 Posted by | Puisi | | 2 Komentar

kotakota

Kota – Kota

kota – kota taklagi punya nama
gelar papan gelora berebut lahan
huruf – hurufnya menjamur semata iklan
hiruk pikuk mengunjing baliho jalanan

bulan merah resah
pagimu jatuh melimbah
mengerdil dalam pot-pot sejarah
hati-hati pun kian terjarah

kota – kota taklagi punya tanda
untuk rindu yang semakin tua
menyapa
terbata-bata

14 September 2011 Posted by | Puisi | | Komentar Dinonaktifkan pada kotakota

Sarung Kusam

Sarung Kusam

bukan dulu pernah baru
bahkan takpernah terbeli olehku
melainkan keringat dan darah kepahlawanan
menjadi penebus rindu
yang membara di kalbu.

masih terbaca selera batikmu
juga pernik teknologi mahir
gelepar ekonomi
gelar politik
adalah warna-warni tradisi yang pernah menggelora di dadamu

dulu kala itu
adalah waktu yang memanjakanmu
dalam gebyar deru
mengiringkan sukses pengabdianmu

sekarang di antaramu
garis garis kepastian mulai redup
malu

6 September 2011 Posted by | Puisi | | 1 Komentar