Riyadi's Blog

Menggagas Wacana Guru Blogger

memetik manfaat berbagi

Memetik Manfaat Berbagi

(Sekilas Balik Workshop Penulisan Novel di Rumah H. Ahmad Tohari)

Workshop? Begitulah terjerat dalam pikiran saya, ketika sebulan yang lalu Ketua Agupena Jawa Tengah memberitahukan rencana pertemuan di rumah H. Ahmad Tohari (Penulis Novel Ronggeng Dukuh Paruk). Tiga hari kemudian muncul pula ajakan dari Pengasuh Komunitas Penulis Muda Indonesia untuk “nyantrik” menulis novel di Jatilawang yang ternyata adalah acara yang sama dengan sebutan yang sedikit berbeda. Hingga berminggu-minggu berikutnya masih menancap tanda tanya yang sama. Workshop? Seperti apakah kiranya menulis novel di-workshop-kan. Seperti apakah pula menulis novel “dicantrikkan”.

Begitulah saya dengan berbekal tanda tanya mempersiapkan diri menuju “Gubug Eling-Eling” (Nama komunitas sastrawan yang diasuh H. Ahmad Tohari).

Pagi itu Minggu, 17 juli 2011 saya mengajak anak dan isteri saya “rekreasi kreatif” ke Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Dari Purworejo kami berangkat pukul 6.00 dan tiba di Jatilawang tepat pukul 8.00.  “Idep-idep” silaturahmi, pikir saya.  Tepat 100 km jarak tempuh kami, dan masih ada sisa waktu beberapa menit sebelum acara dimulai. Kami disambut dengan keramahan yang alami. Ramah sang pemilik rumah. Sungguh ramah pula alam sekitar rumah. Ramah yang alami masih terjaga dengan hati yang indah.  Begitu yang saya rasakan, dan juga dirasakan kesejukan imani oleh isteri dan anak bungsu saya.

Memasuki ruang pertemuan terasa sunyi menggelembung di dalamnya. Sekitar dua puluh peserta asyik masyuk membaca objek masing-masing. Ada yang membaca buku-buku yang tersedia di lingkaran itu, ada pula yang membaca-baca situasi sambil toleh kanan toleh kiri apa adanya.

Sekitar pukul setengah sembilan mulailah pertemuan itu. Diawali oleh moderator yang juga Sang Nakhoda Komunitas Penulis Muda Indonesia. Pecah sunyi dan berhamburan senyum ke sana-kemari.  Tetap saja terasa ada basa-basi, terlebih ketika kemudian dihadirkan sambutan dari Ketua Agupena Jawa Tengah, terpikir lagi dalam benak saya workshop beneran kah ini? “Wah, resmi amat sih”, pikir saya.

Suasana “resmi” berubah perlahan menjadi acara kekeluargaan yang santai tatkala H. Ahmad Tohari mulai menabur kata. Awal katanya langsung mengubah panggilan dirinya sesuai nuansa lokal; “di daerah ini saya biasa dipanggil Kang”, katanya dengan akrab. “Kang Tohari”, begitu pintanya. Tentu saja semua peserta menyambut hangat kearifan lokal ini.

Menurut Kang Tohari, istilah “Gubug Eling-Eling” itu pun diwacanakan untuk mampu membangun kearifan lokal lebih lanjut.

Di Forum Lesehan H. Ahmad Tohari

Tanpa Dicitakan, Saya Jadi Pengarang

Demikian judul pengakuan Kang Tohari yang disampaikan pula secara lisan dalam awal acara itu. Menurut Kang Tohari sampai 3 tahun setelah tamat SMA, belum pernah beliau membayangkan dirinya kelak akan jadi pengarang. Namun, di luar kesadarannya telah melakukan hal-hal yang bisa disebut sebagai persiapan diri menjadi pengarang. Bahkan hal-hal tersebut telah dilakukannya sejak beliau masih sekolah di SR. Hal-hal yang dimaksud antara lain kegemaran mendengar cerita-cerita lisan dari kakek atau guru, menonton pentas wayang kulit, dan mulai membaca.

Tahun 1979 merupakan tahun penting bagi Kang Tohari dimana pada tahun itulah beliau memutuskan memasuki dunia tulis – menulis secara sungguh-sungguh. Keinginan itu muncul setelah beliau tahu sejak lama para penulis hadir (eksis) di tengah-tengah kehidupan dengan nyata. “Bahkan mereka tetap hadir sesudah puluhan atau ratusan tahun meninggal. Bukankah eksistensi merupakan kebutuhan dasar manusia, dan saya bukan kekecualian,” kata Kang Tohari. Menurut Kang Tohari pula bahwa dunia kepengarangan ternyata juga memberi ruang untuk mengembangkan profesi dan mata pencaharian.

Tiga Hal yang harus Dilakukan

Berdasarkan pengalaman Kang Tohari yang telah 40 tahun menulis fiksi ada 3 hal pokok yang harus dilakukan untuk menjadi pengarang.

1. Membaca (membaca dulu dan terus membaca)

2. Menulis

3. Proses

Terkait dengan proses ada pesan khusus dari Kang Tohari  agar pengarang jangan merasa besar. Lebih baik merasa jadi orang biasa saja, dan “diparingi” keterampilan menulis itu karunia yang harus dipertanggungjawabkan.  Beliau juga menandaskan agar tidak usah mengikuti gaya kepengarangan barat (humanisme)

Berbagi

Selepas istirahat siang forum dipandu untuk tanya jawab dan saling asah, saling asuh. Dalam acara inilah terbaca oleh diri saya bahwa yang hadir ternyata para penulis yang sudah berkarya terutama karya nonfiksi. Dalam forum itulah saya merasa ketinggalan langkah cukup jauh. Taraf saya baru taraf (1) membaca, itu pun belum tuntas. Sedang yang lain rata-rata telah berproses dan sering bersaing dalam lomba rutin yang diselenggarakan Pusbuk. Sungguh beruntung diri saya dapat “ngangsu kawruh” tentang proses menulis dengan orang – orang yang memang layak disebut sebagai penulis. Semoga kesempatan mendatang masih senantiasa akan dapat bersua.

20 Juli 2011 Posted by | Narasi | | 2 Komentar

Sepasang Merpati Putih

SEPASANG MERPATI PUTIH

terbang entah kemana

19 Juli 2011 Posted by | Puisi | | Komentar Dinonaktifkan pada Sepasang Merpati Putih